I. Pendahuluan
1.
Perkembangan
pemanfaatan ruang pada satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah
berada pada kondisi yang mengkhawatirkan seiring dengan meluasnya bencana yang
terjadi – khususnya banjir dan longsor – yang dengan sendirinya mengancam
keberlanjutan pembangunan nasional jangka panjang. Dari keseluruhan 89 SWS yang
ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada dalam
kondisi kritis[1].
Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS. Perkembangan
yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah
berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa. Seluruh
SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir besar pada musim hujan,
juga sebaliknya menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau.
2.
Berbagai
fenomena bencana – khususnya banjir dan longsor – yang terjadi secara merata di
berbagai wilayah di Indonesia pada awal tahun 2002 dan 2003 ini, pada dasarnya,
merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan
ruang, yakni : antara manusia
dengan kepentingan ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
3.
Penyebab
terjadinya bencana banjir dan
longsor sendiri secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni : (1)
kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik
sungai, (2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan
iklim (pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi,
dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat
dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan
lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan
wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan sarana
pengendali banjir dan sebagainya.
4.
Pada era
otonomi daerah dewasa ini, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka
panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung – yang berfungsi menjaga
keseimbangan tata air – menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan praktek pembangunan yang
kerap terjadi, seperti di kawasan Bopunjur yang telah diatur melalui Keppres
114/1999.
5.
Pemanasan
global (global warming) merupakan aspek yang perlu mendapatkan perhatian
besar karena akan mempengaruhi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dengan
pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat
tinggi (kejadian ekstrim). Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan
terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir
tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas
genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.[2]
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif
apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan
terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
6.
Bencana banjir
dan longsor yang terjadi belakangan ini telah menimbulkan korban jiwa dan
kerugian harta benda yang besar, disamping itu menyisakan pula berbagai
permasalahan, seperti : (1) menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat
penyebaran wabah penyakit menular (waterborne diseases) ; (2) munculnya
berbagai kerawanan sosial ; dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat
7.
Sementara pada
jangka panjang, gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang
terjadi akibat banjir dan kenaikan muka air laut diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas
dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan
terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir Pantura Jawa,
seperti : Jakarta, Cirebon, dan Semarang ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya
seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar
atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’
apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan di Pulau Jawa
yang menghasilkan ± 63%
dari produksi pangan nasional yang terus dikonversi,[3]
dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia.[4]
8.
Dalam rangka
mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta menghindari terjadinya dampak
bencana yang lebih luas dan serius pada masa mendatang, maka prinsip-prinsip
penataan ruang yaitu harmonisasi fungsi ruang untuk lindung dan budidaya
sebagai satu kesatuan ekosistem, tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini
upaya pengendalian pembangunan dan dampaknya perlu diselenggarakan secara
terpadu lintas sektor dan lintas wilayah melalui instrumen penataan ruang dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah tersebut.
II. Penataan Ruang sebagai Landasan Keterpaduan
Pembangunan Lintas Sektor dan Lintas Wilayah
9.
Berdasarkan UU
No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan
tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Perencanaan
tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta
rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata
ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan
pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan
penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya.
Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen
yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
10. Aspek teknis penataan ruang dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN
merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon
waktu hingga 25 – 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 :
1,000,000. RTRW Pulau pada dasarnya merupakan instrumen operasionalisasi
dari RTRWN. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis
jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 :
250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan
mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 :
20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang
bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian
dibawah 1 : 5,000.
11. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang
dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
Kerangka keterpaduan pembangunan
melalui pendekatan penataan ruang diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip
sinergi pembangunan dan kemanfaatan bersama (complementary benefit) yang
mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas – melebihi
batas-batas administrasi.
No comments:
Post a Comment