KATA SAMBUTAN BLOGGER TGL PEMBUATAN 01 MEI 2013

PERHATIAN BUAT TEMAN-TEMAN SEMUA YANG SELALU MENGUNJUNGI BLOGGER SAYA JIKA INGIN MAKALAHNYA LENGKAP DARI BAB I SAMPAI BAB III /IV SILAHKAN DI DOWNLOAD FILENYA , OK....

Saturday, July 13, 2013

ANALISIS FAKTOR PSIKOGRAFIS TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN



A.    LATAR BELAKANG
Industri makanan belakangan ini memang menjadi magnet yang dilirik pengusaha karena potensinya cukup besar. Apalagi, di beberapa pasar utama seperti makanan dalam kemasan. Dalam catatan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, total pasar bisnis makanan dan minuman di atas Rp 120 triliun, di luar bisnis rokok. Namun, di industri ini persaingannya juga makin ketat, apalagi makin banyak pemain asing yang hadir di industri ini. Tak mengherankan, bila ingin merebut pasar yang signifikan di industri ini, butuh strategi pemasaran yang jeli, termasuk rajin berpromosi untuk membangun merek dan mendekati konsumen. Tahun 2006 bisnis makanan diyakini bakal tetap tumbuh di atas 10%. (Swa.co.id, diakses 12 Januari 2006)
Sebagaimana diungkapkan Levitt (1994) dalam Kotler (2000:449) yaitu persaingan sekarang bukanlah apa yang diproduksi perusahaan dalam pabrik tetapi antara apa yang mereka tambahkan pada hasil pabrik tersebut dalam bentuk pengemasan, iklan, dan hal-hal lainnya yang dipandang perlu. Dengan demikian keberhasilan menjual suatu produk sangat ditentukan oleh ketrampilan mengelola produk inti (core product), dan produk yang disempurnakan yang berbeda dari persaingannya.
Perang produsen makanan yang terjadi sampai saat ini menjadi hal yang amat penting dalam membangun persepsi konsumen. Caranya dengan melempar produk yang memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dalam hal ini dibutuhkan identifikasi yang tepat berbagai elemen, karakteristik dan atribut produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Untuk itu perlu dilakukan analisis psikografis (aktivitas, minat dan opini) konsumen untuk mengetahui dan memberi kesan di benak konsumen bahwa produk inilah yang mereka butuhkan.
Adanya persaingan industri makanan tersebut, untuk memenangkan persaingan, maka salah satunya adalah produsen harus tahu dan respek akan hak-hak konsumen. Kualitas hidup yang semakin baik, mendorong meningkatnya tuntutan hak konsumen akan produk-produk makanan yang bermutu dan aman. Salah satu hak konsumen itu adalah adanya informasi label halal pada setiap produk yang dijual di pasar. Konsekuensi logis dari hal itu adalah produsen harus melakukan sertifikasi dan mencantumkan label halal pada setiap kemasan produknya. Bagi produsen, sertifikasi dan pelabelan produk dibutuhkan biaya yang besar. Akan tetapi apabila produsen dapat melakukannya, maka kepuasan konsumen akan dapat terpenuhi (Jurnal Halal No.18 Nov-Des 1997:13). Label halal yang terpercaya dapat memberikan ketentraman bagi konsumen untuk mengkonsumsi suatu produk.
Aisyah Girindra, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), menyatakan bahwa “Tuntutan konsumen akan produk halal belakangan memang semakin besar. Diakui konsumen muslim saat ini makin kritis. Mereka tidak sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi juga kehalalnya.  Label halal pun menjadi kunci yang memepengaruhi konsumen dalam memutuskan membeli atau tidak suatu produk”. (www.google.com, diakses 03 Maret 2001).
Adanya label halal pada sebuah produk akan membantu kedua belah pihak, baik produsen yang memproduksi maupun konsumen yang mengkonsumsi. Kedua, adanya label halal melindungi pengusaha dari tuntutan konsumen dikemudian hari. Ketiga melindungi konsumen dari keraguan dalam menyantap makanan. Keempat, dapat meningkatkan kepuasan konsumen, Kelima  adanya label halal juga dapat memperkuat dan meningkatkan image produk yang secara langsung maupun tidak mempengarui persepsi konsumen (Syaiful Muslim, 2007). 
Seperti diungkapkan Kotler (2000) keputusan untuk membeli pada hakekatnya terdiri dari sekumpulan persepsi dan keputusan. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian, yaitu sikap orang lain dan faktor situasi yang tak terduga. Sikap orang lain positif maupun negatif akan mempengaruhi alternatif konsumen, sehingga motivasi konsumen dapat tunduk pada keinginan orang lain. Semakin kuat intensitas sikap orang lain, semakin kuat orang lain tersebut mempengaruhi niat konsumen untuk membeli atau tidak suatu barang. Sementara itu faktor situasi yang tak terduga muncul untuk mengubah maksud pembelian. Faktor ini menggambarkan kekecewaan terhadap produk tertentu. Tetapi bukan merupakan faktor yang dapat diandalkan sepenuhnya untuk memeprediksi atau mengukur tingkah laku pembeli.
Daging merupakan kebutuhan makanan pokok manusia untuk memenuhi kehidupannya. Peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang disertai dengan kesadaran arti pentingnya nilai gizi makanan untuk kebutuhan hidup manusia, akan ikut mempengaruhi kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani setiap tahun. Komoditi daging segar dan olahan sudah tidak disangsikan lagi keberadaannya, karena daging segar dan daging olahan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Penggunaan daging segar sebagai bahan makanan relatif lebih variatif dibandingkan dengan daging olahan, tetapi daging segar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga tergolong sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Oleh karena itu proses pengolahan daging segar menjadi daging olahan merupakan proses yang sangat penting sekali. Selain memperpanjang masa simpan daging, penganekaragaman bahan pangan, proses pengolahan ini juga akan meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut sehingga harga produk daging olahan akan lebih tinggi dibandingkan dengan daging segar. Perbedaan harga ini akan mempengaruhi permintaan dari daging olahan. Namun di sisi lain telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke atas terutama di kota-kota besar yaitu terjadinya kecenderungan membeli bahan-bahan yang "ready to cook" atau "ready to eat". Pergeseran pola konsumsi ini dipengaruhi antara lain oleh kemajuan teknologi, meningkatnya tingkat pendidikan, bertambahnya kaum wanita memasuki dunia kerja dan sebagainya. (Khusnul Khotimah, 19 Agustus 2000)
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi. Lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesia selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi. (www.Bisnis.com, di akses 01 Maret 2005)
 Oleh karena stock bahan baku daging sapi di Indonesia tidak sebanyak jumlah permintaan konsumen sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut industri pengolahan daging sapi kemasan mengimport bahan baku daging sapi dari luar negeri dalam bentuk curah (daging siap olah). Karena keterbatasan informasi dan pengetahuan agen pengimpor boleh jadi tidak ada jaminan halal dan masalah lain, sering ditemukan kasus pencampuran daging sapi dengan daging non halal lainya (seperti babi, dll). Kedua masalah itu, menimbulkan keraguan pada konsumen akan nilai kehalalan produk daging sapi kemasan yang diproduksi oleh industri makanan di Indonesia.
Alasan tersebut diatas menuntut kejelian konsumen untuk mendapatkan produk makanan yang benar-benar terjamin halal. Sehingga konsumen membutuhkan panduan informasi dalam setiap pembelian produk daging sapi kemasan. 



 

No comments:

Post a Comment