A. LATAR
BELAKANG
Industri makanan belakangan ini memang
menjadi magnet yang dilirik pengusaha karena potensinya cukup besar. Apalagi,
di beberapa pasar utama seperti makanan dalam kemasan. Dalam catatan Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman, total pasar bisnis makanan dan minuman di atas
Rp 120 triliun, di luar bisnis rokok. Namun, di industri ini persaingannya juga
makin ketat, apalagi makin banyak pemain asing yang hadir di industri ini. Tak
mengherankan, bila ingin merebut pasar yang signifikan di industri ini, butuh strategi
pemasaran yang jeli, termasuk rajin berpromosi untuk membangun merek dan
mendekati konsumen. Tahun 2006 bisnis makanan diyakini bakal tetap tumbuh di
atas 10%. (Swa.co.id, diakses 12 Januari 2006)
Sebagaimana diungkapkan Levitt (1994) dalam
Kotler (2000:449) yaitu persaingan sekarang bukanlah apa yang diproduksi
perusahaan dalam pabrik tetapi antara apa yang mereka tambahkan pada hasil
pabrik tersebut dalam bentuk pengemasan, iklan, dan hal-hal lainnya yang
dipandang perlu. Dengan demikian keberhasilan menjual suatu produk sangat
ditentukan oleh ketrampilan mengelola produk inti (core product), dan
produk yang disempurnakan yang berbeda dari persaingannya.
Perang produsen makanan yang terjadi
sampai saat ini menjadi hal yang amat penting dalam membangun persepsi
konsumen. Caranya dengan melempar produk yang memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen. Dalam hal ini dibutuhkan identifikasi yang tepat berbagai elemen,
karakteristik dan atribut produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Untuk itu
perlu dilakukan analisis psikografis (aktivitas, minat dan opini) konsumen
untuk mengetahui dan memberi kesan di benak konsumen bahwa produk inilah yang
mereka butuhkan.
Adanya persaingan industri makanan
tersebut, untuk memenangkan persaingan, maka salah satunya adalah produsen
harus tahu dan respek akan hak-hak konsumen. Kualitas hidup yang semakin baik,
mendorong meningkatnya tuntutan hak konsumen akan produk-produk makanan yang
bermutu dan aman. Salah satu hak konsumen itu adalah adanya informasi label
halal pada setiap produk yang dijual di pasar. Konsekuensi logis dari hal itu
adalah produsen harus melakukan sertifikasi dan mencantumkan label halal pada
setiap kemasan produknya. Bagi produsen, sertifikasi dan pelabelan produk
dibutuhkan biaya yang besar. Akan tetapi apabila produsen dapat melakukannya,
maka kepuasan konsumen akan dapat terpenuhi (Jurnal Halal No.18 Nov-Des
1997:13). Label halal yang terpercaya dapat memberikan ketentraman bagi
konsumen untuk mengkonsumsi suatu produk.
Aisyah Girindra, Direktur Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM
MUI), menyatakan bahwa “Tuntutan konsumen akan produk halal belakangan memang
semakin besar. Diakui konsumen muslim saat ini makin kritis. Mereka tidak
sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi
juga kehalalnya. Label halal pun menjadi kunci yang
memepengaruhi konsumen dalam memutuskan membeli atau tidak suatu produk”. (www.google.com, diakses
03 Maret 2001).
Adanya label halal pada sebuah produk akan
membantu kedua belah pihak, baik produsen yang memproduksi maupun
konsumen yang mengkonsumsi. Kedua, adanya label halal melindungi pengusaha dari
tuntutan konsumen dikemudian hari. Ketiga melindungi konsumen dari keraguan
dalam menyantap makanan. Keempat, dapat meningkatkan kepuasan konsumen,
Kelima adanya label halal juga dapat
memperkuat dan meningkatkan image produk yang secara langsung maupun
tidak mempengarui persepsi konsumen (Syaiful Muslim, 2007).
Seperti diungkapkan Kotler (2000) keputusan
untuk membeli pada hakekatnya terdiri dari sekumpulan persepsi dan keputusan.
Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian, yaitu sikap orang
lain dan faktor situasi yang tak terduga. Sikap orang lain positif maupun
negatif akan mempengaruhi alternatif konsumen, sehingga motivasi konsumen dapat
tunduk pada keinginan orang lain. Semakin kuat intensitas sikap orang lain,
semakin kuat orang lain tersebut mempengaruhi niat konsumen untuk membeli atau
tidak suatu barang. Sementara itu faktor situasi yang tak terduga muncul untuk
mengubah maksud pembelian. Faktor ini menggambarkan kekecewaan terhadap produk
tertentu. Tetapi bukan merupakan faktor yang dapat diandalkan sepenuhnya untuk
memeprediksi atau mengukur tingkah laku pembeli.
Peningkatan taraf
kehidupan masyarakat yang disertai dengan kesadaran arti pentingnya nilai gizi
makanan untuk kebutuhan hidup manusia, akan ikut mempengaruhi kebutuhan
masyarakat terhadap protein hewani setiap tahun. Komoditi daging segar dan
olahan sudah tidak disangsikan lagi keberadaannya, karena daging segar dan
daging olahan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sudah sangat
dikenal dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Penggunaan daging segar sebagai bahan
makanan relatif lebih variatif dibandingkan dengan daging olahan, tetapi daging
segar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga
tergolong sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Oleh
karena itu proses pengolahan daging segar menjadi daging olahan merupakan
proses yang sangat penting sekali. Selain memperpanjang masa simpan daging,
penganekaragaman bahan pangan, proses pengolahan ini juga akan meningkatkan
nilai tambah dari produk tersebut sehingga harga produk daging olahan akan
lebih tinggi dibandingkan dengan daging segar. Perbedaan harga ini akan
mempengaruhi permintaan dari daging olahan. Namun di sisi lain telah terjadi
pergeseran pola konsumsi dari masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke
atas terutama di kota-kota besar yaitu terjadinya kecenderungan membeli bahan-bahan
yang "ready to cook" atau "ready to eat".
Pergeseran pola konsumsi ini dipengaruhi antara lain oleh kemajuan teknologi,
meningkatnya tingkat pendidikan, bertambahnya kaum wanita
memasuki dunia kerja dan sebagainya. (Khusnul Khotimah, 19 Agustus 2000)
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas
220 juta jiwa membutuhkan pasok daging yang besar. Peternakan domestik belum
mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan
permintaan, ternyata masih tinggi. Lembaga yang memiliki otoritas tertinggi
dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha
sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan
setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk
tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada
gilirannya memaksa Indonesia selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi
hidup maupun daging dan jeroan sapi. (www.Bisnis.com
Oleh
karena stock bahan baku daging sapi di Indonesia tidak sebanyak jumlah
permintaan konsumen sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut industri
pengolahan daging sapi kemasan mengimport bahan baku daging sapi dari luar
negeri dalam bentuk curah (daging siap olah). Karena keterbatasan informasi dan
pengetahuan agen pengimpor boleh jadi tidak ada jaminan halal dan masalah lain,
sering ditemukan kasus pencampuran daging sapi dengan daging non halal lainya
(seperti babi, dll). Kedua masalah itu, menimbulkan keraguan pada konsumen akan
nilai kehalalan produk daging sapi kemasan yang diproduksi oleh industri
makanan di Indonesia.
Alasan tersebut diatas menuntut kejelian
konsumen untuk mendapatkan produk makanan yang benar-benar terjamin halal.
Sehingga konsumen membutuhkan panduan informasi dalam setiap pembelian produk
daging sapi kemasan.
No comments:
Post a Comment